Note to Self

Ini bener-bener ngena banget! hohoho.Biasa aja. Biarin aja. Biarkan seperti sesendok garam ke danau. Hihihi...Fine your own comfortness, my dear. :)Berbaik sangka saja pada tiap hal dan proses yang menempamu menuju pendewasaan diri yang tak pernah mengenal titik selesai.

Shuttlecock in the air

Kalau ditanya olahraga apa yang paling zz suka, zz suka badminton dan basket.  Untuk basket, zz suka aja pas drible bola dan pas shooting, walau pas SMU dulu, keajaiban aja kalau three point masuk semua. Ahahaha. Susah sih, kan zz tingginya pas-pasan, sedangkan keranjangnya menggantung di langit sana. Gimana mau masuk coba. Agagaga. Walaupun kemampuan bermain basket zz tergolong buruk, ini olahraga yang tetap zz cinta tak peduli kondisi diri. Hahah. Paling gak kalau orang main basket dan zz lagi mau nonton, zz pasti mau aja ikut nonton. Cuma sekarang, kesempatan untuk kayak gitu udah sangat teramat langka. Main tua makin sibuk aja, hahah. Jadinya hal sekedar menyenangkan diri jenis ini makin terlempar ke bawah skala prioritas, bahkan hampir terlupa sama sekali. 

Yang kedua, badminton. Zz pencinta berat bulu tangkis ini, dalam artian zz suka main dan juga suka nonton pertandingannya. Sudah lama sekali sih sebenarnya, dari sejak SD, baik di sekolah maupun di rumah, zz dan abang, adek-adek juga memang suka main. Walaupun di rumah, mainnya ya di halaman depan itu, gak ada lapangan khusus badminton. Hampir semua anggota keluarga kecuali ayah, suka main badminton. Bahkan mamak, kalau kami main malam, pas masih SD dulu, suka ikut main juga walaupun yaa... mainnya lebih ke bener-bener main aja. If you know what I mean. XD

Nah, Alhamdulillah, mengawali tahun ini, akhirnya 'obsesi' sekaligus hobi zz yang sekian lama setahunan ini hampir terkubur di pasir, bisa jalan lagi. Malah lebih seru, ternyata nambah gitu yang suka main badminton. Awalnya ngajakin iseng, siapa yang suka main badminton, sekarang geng jogging dan jalan pagi ternyata pada suka badminton juga. Yay!!

Sekarang, alhamdulillah, selain main rutin hari Minggu, setelah lari pagi di lapangan di kompleks Taman PKA tiap hari kami selalu menyempatkan main badminton. Ada Juza yang jadi temen setia, hihihi. Terus juga Ria Adek, Susi, Tomi, Bai, sekarang nambah Oja juga. Makin seru dan menyenangkan. Semoga bisa terus konsisten. 

And, the shuttlecock is always flying in the air... ^-^


Adakah Terjaga?

Adakah kita bahagia, dalam syukur yang begitu nyata sekali rasanya?
Dalam keping damai, hening yang bersahaja…
Pada teduhnya hari tanpa jelaga…

Atau ketika menggurat rasa di tapak-tapak kata…
Dalam hawa dan segenap rasa asing yang aku tak tahu apa…
Aku.. ? Kukatakan sepenuh sungguh aku merasakannya...
Walau saat kucari dalam remang senja dan semburat jingga sang raja saat hari bermula
Aku tak menemukanmu di merata sudut kota
Aku tahu aku cukup bahagia...


~Allah menambahkan kebahagiaan kepadamu, untuk melihat adakah engkau bersyukur.  Allah juga kadang menambahkan ketidakbahagiaan kepadamu, juga untuk melihat adakah engkau masih bersyukur. Bukan pada bahagia atau tidaknya letak kita bisa menikmati nikmat-Nya, tapi pada cara kita bersyukur dalam bagaimanapun keadaan~

Taman Musim Gugur

Pagi yang basah, pada penanggalan yang dihitung manusia sebagai awal baru yang ke sekian kalinya. Aku mengunjungi lagi taman ini. Wahai musim gugur sepanjang tahun, di tempat yang paling aku cari untuk duduk memandang lama, melihat perjalanan panjangku ratusan hari di belakang sana. Luruh dedaunan kuning kecoklatan berserak dengan indah menjadikan musim gugur di kunjunganku kali ini tetap sama mengagumkan dan menyenangkan seperti biasa. Kepingan damai menyergap hangat.

Aku memandang setiap kelebat, pada apa-apa yang terjadi di sana dari tempat ku berdiri. Bangku-bangku taman yang menua dan sekali lagi terlihat kokoh dan indah, menyapaku… “selamat datang lagi sesudah setahun ini, seberapa tua sudah ruhmu, wahai…?” sapaan biasa mereka padaku.

Tidak seperti tahun-tahun lalu, ada senyum dan tawa yang riang, menjawab awal pertemuan tahunan kami, kali ini bening sudah luruh sejak aku melangkah masuk taman tuaku ini. Aku tak mampu menolong diri, ah bukan, aku sengaja tak menolongnya. Aku memb iarkannya. Bening itu makin meluruh, dalam lirih jawabanku, “kalian tahu aku makin tua… dan aku melihat bayangan banyak penyesalan itu, wahai…”

Mereka tersenyum gundah, entah karena melihat bening itu atau karena gundah untuk penjelasanku nanti. Aku tak bisa memaknai, bening mengambang di pelupuk mata. Aku meminta jeda menenangkan diri. Aku merasa baik-baik saja sebelum datang dan berusaha untuk tetap tenang sampai waktuku pamit, tapi nampaknya kendaliku tak bisa apa-apa, aku terseret begitu saja sejak saat melangkah masuk kemari.

“aku melihat banyak penyesalan di tahun ini, …” aku mengulangnya seolah mereka tak mendengar saat kuucapkan sebelumnya.

Diam yang panjang tumbuh hingga ke langit-langit. Aku mematung dalam cekat di kerongkongan. Tak banyak yang bisa kuperbuat, aku hanya diam.

Aku menggenggam jari tangan yang beku, membiru di dera dingin, agak sulit hingga aku terbungkuk. Lututku gemetar hebat, dan aku melihat diriku hampir menyerah kalah. Aku tersaruk jatuh. Duduk di pelataran daun-daun kering. Hingga kemudian tergugu dalam tangis yang panjang.

Benar, aku sungguh banyak menyesali diri di tahun belakang ini, wahai…

Aku menumpahkan kecewa dalam gugu bisu musim gugur di kunjunganku kali ini. Aku kembali pada cangkangku lagi. Aku sulit untuk bisa percaya penuh pada manusia, aku mengirim dan mengabari tangis dan sedihku padaNya saja, aku membalikkan punggung dan menangis jauh dari penglihatan manusia. Aku kembali pada cangkangku, aku mengunjungi musim gugurku di taman tua ini tahunan seperti ini.

“tapi kau menutup  tahun ini dengan bahagia yang baik, bukan?” mereka mungkin berusaha menolong mengingatkanku akan hal baik itu, mungkin untuk menghiburku.

Aku terkejut dan segera menganggukkan kepalaku kuat-kuat. Dengan mata penuh air Aku  tertawa hingga tersedak. Kalimat mereka ternyata benar ampuh. Aku masih mengangguk dan tanpa bisa kucegah, air yang datang entah dari mana makin menganak sungai di kedua bola mata. Aku mengabur parah. Namun aku bisa merasakan garis senyum di wajahku membawa haru dalam-dalam menuju hati. Damai itu.

Ya, bukankah Allah juga menghadiahiku kado besar di tahun kemarin. Dengan cara yang sedikit tak kubaca namun kuaminkan luar biasa.

“itu baik sekali bukan, maka harusnya… rantai sesal itu harus putus hingga di sana saja, cukupkan di sana…” mereka memotong haruku.

“tapi aku juga menyesali diri banyak kali di tahun kemarin, aku kecewa pada apa-apa yang kulakukan di tahun itu. Aku marah pada banyak hal yang terjadi…” air mataku menolong tanpa kuminta. Aku benci.

“kami tahu… tapi itu karena engkau selalu menyalahkan diri terlalu banyak dan itu tidak menolongmu memperbaiki keadaan, tahukah?”

“aku tak tahu lagi mengapa aku begitu hancur di belakang sana…”

“kami tahu…”

“benarkah? Haha…”

“tentu saja…”

“bagaimana mungkin kalian tahu?”

“kami memang tahu, bagaimana mungkin engkau tak tahu?”

“baik… aku tak kan mendebat, kalian benar…”

“tentu saja…”

“…” Aku menyeringai pendek dalam cekat yang masih basah.

“kau hanya perlu melapangkan hati, mengikhlaskan semua itu, tak penting engkau lupa atau tidak, yang paling baik adalah ridha dengan apa yang terjadi. Allah sedang mendidikmu dengan caraNya, jika engkau ingin melihatnya dengan baik…”

Aku terdiam… benar begitu… Mungkin Aku hanya perlu mengikhlaskan sosok rapuhku di ratusan hari belakang yang membuatku benci pada diri sendiri, mengubah pandanganku pada manusia, meragukan tiap sosok baru yang mencoba datang mendekat, aku tahu itu belum benar-benar sembuh. Tapi aku harus terus belajar tulus itu bukan, ya, benar begitu.

Maka, aku memang datang berkunjung ke taman tuaku dengan musim gugur sepanjang tahunnya. Tempat rahasiaku. Tempatku berceloteh tentang banyak hal, dalam gemas atau kesal, dalam bahagia atau gundah. Semua rasa berlabuh dan tumpah. Aku datang dengan cangkangku kemari. Aku mengunjunginya selalu, tahunan seperti ini. Di awal mula penanggalan tahun ini.

Aku bangkit dari dudukku. Berjalan pulang, tak membersihkan daun-daun tua yang melekat di bagian bawah bajuku, membiarkannya. Beberapa akan menemaniku berjalan pulang. Tersenyum lapang aku memeluk lengan, menguatkan langkah, menghitung kesyukuranku yang kadang berdenyut lemah pada limpahan nikmatNya. Aku kadang terlalu melihat dan menghitung apa-apa yang belum kupunya dan ingin kuminta dan lupa bersyukur pada apa-apa yang diberi bahkan tanpa perlu kupinta. 

Januari yang kemarin datang sudah hampir berkelebat pergi. Alangkah cepatnya waktu berjalan, bahkan seperti berlari. Ahlan wa sahlan, ratusan lembar baru kehidupan, terima kasih selalu untuk bersamaku, dengan musim gugur sepanjang tahunmu. Terima kasih untuk hal baik yang berpendar sepenuh cahaya di sekelilingku, juga hal pehit yang mendidik kebijaksanaanku. Aku tahu, aku tak benar-benar sendiri,  Aku malu sekali pada sikapku yang begini.  Semoga dengan kutinggalkan semua penat dan sesal itu di belakang sana, tak ada lagi yang kusesali setelah ini, di tahun ini, hingga kunjunganku nanti kembali dalam senyum dan tawa yang lapang di taman tua ini, dengan musim gugur sepanjang tahun. Sejak sekarang saja, aku sudah bisa merasakan bagaimana kantung-kantung bahagiaku terus berisi, dari tawa bahagia bersama orang-orang bernama baik dan dalam kebaikan yang menyenangkan. Semoga makin membaikkan. Meneduhkan semua risau yang tidak perlu. Mengasah kesyukuran, agar hati dan fikir semakin lapang dan bahagia sebenar bahagia. 


Taman Musim gugur, Refleksi Sepotong Monolog di Januari tahun ini


Hal-Hal Baik Itu...

Allah selalu punya cara-Nya sendiri menyenangkan hati.  Alhamdulillah.
Kita harusnya jadi orang yang tiap hari selalu memperbaiki diri dan ksyukuran. Ada saja cara Allah menunjukkan bahwa jalan untuk bahagia dan menyenangkan hati itu sederhana sekali. Sesederhana menikmati pagi dan sore hari, mengerjakan apa yang harus dikerjakan, membalas sms dari teman, mengiyakan janji yang dibuat semalam, membalas email orang-orang, membalas inbox fb dari orang yang mungkin sedikit kurang mngenakkan, pergi makan siang dengan sahabat dan tersenyum pada satpam Bank yang setia dan sigap membuka pintu tiap kali costumer mereka datang. Tertawa menanggapi klakson motor dari seorang Bapak yang ternyata memperhatikan sejak tadi, karena ada seseorang yang hana meupu ini tertegun, bengong ke satu arah di samping motornya di siang yang terik. Sesederhana mengalihkan kekesalan karena perkara remeh ke omongan kecil yang mncairkan suasana sehingga momen awkward terhindarkan dengan baik. Sesederhana mngangkat printer ke lantai-I dan kembali ke lantai-II begitu saja. Sesederhana menertawakan kata ‘kenapa bisa begitu’ karena juga pusing memikirkan jawabannya. haha.

Harusnya memang begitu. Jangan sampai kesenangan pada hal baik dan kebahagiaan untuk menikmatinya hilang begitu saja hanya karena satu dua hal kecil yang kurang seperti diharapkan. Biarkan saja. Nikmati saja, karena kita tidak bisa mengendalikan semua hal dalam kehidupan. Yang paling mungkin kita lakukan adalah mengendalikan cara kita menghadapinya. Cara menghadapinya adalah dengan cara menikmatinya dengan bahagia, pikiran positif, berbaik sangka, dan senyum!!! Senyum tanpa beban, senyum lepas, senyum tulus dengan hati yang rela pada apa saja. Hati yang berdamai dengan banyak hal yang tidak mungkin tidak memuaskan dan tidak sesuai harapan. Ikhlas dengan keadaan sekarang, juga berprasangka baik dengan harapan dan keadaan di masa depan, Insya Allah, banyak hal baik yang akan datang. Kita hanya perlu mempertajam mata hati untuk melihat semuanya.

Indeed... :)


Bahwa pada diri setiap orang ada ilmu, hikmah dan pembelajaran. (OSD)

It's That Simple

Sebenarnya sederhana saja, karena kita tidak akan suka diperlakukan demikian oleh orang lain maka kita tidak akan memperlakukan orang lain seperti itu. It’s just that simple.

Tapi tetap sebagian orang tidak bisa mengerti hal-hal seperti ini. Orang dengan mudah menyinggung orang lain dengan perkataan ataupun tindakannya namun begitu tersengat jika orang lain melakukan hal serupa terhadap dirinya. Bukankah harusnya vice versa?

Orang juga terkadang sulit mengerti mengapa orang lain bisa tersinggung. Juga sulit mengerti ketika  mereka berusaha menjelaskan bahwa hal-hal seperti itu tidak akan dilakukannya kepada orang lain karena dianggap bisa menyinggung perasaan dan melanggar batas kenyamanan yang bisa ditolerir oleh orang lain. Sehingga bagi mereka, akan sedikit sulit menerima begitu saja ketika hal yang sama terjadi pada dirinya. 

Seharusnya dapat dimengerti bukan? Kita menahan diri dari mengolok-olok orang lain, mengejek, menertawakan kekurangan orang lain misalnya, meski hanya dengan niat bercanda sekalipun, karena kita bisa meng-asses, ketika menempatkan diri di posisi itu, itu bukanlah hal yang menyenangkan buat kita. Mungkin buat segelintir orang, menertawakan sesuatu selama tidak dialamatkan pada dirinya, adalah sesuatu yang fun dan cukup menghibur. 

Jika kenyataannya adalah seterang itu, betapa lama kelamaan tak ada yang menjamin kita terhindar dari orang menjadi sakit jiwanya, karena ternyata hal-hal seperti itu justru menjadi hiburan yang menyenangkan buat kita. Kemana perginya attitude santun yang membuat hati siapapun nyaman saat berinteraksi dengan sesama? 

Ingatan Hujan

Tak tahu mengapa
Hujan tak pernah gagal membawa ingatanku pada sosokmu
Tak peduli kelam dan mendung
Langit selalu bersedia menjelma kanvas raksasa
Lalu semua seperti biasa, hidup dan nyata

Tanpa bisa kucegah
Hampir selalu aku menemukanmu di sana
Dalam Sekelebat lalu
Dalam kelabu dan samarnya butiran hujan
Entah tersenyum entah tertawa

Damai...