Hal-Hal yang tak Tersampaikan

Kata Nazrul Anwar -jika aku tak salah mengingat namanya- seyogyanya
hati adalah tempat sesuatu mengalir, bukan sesuatu untuk menyimpan. Indah sekali jika kita bisa melakukan tepat seperti itu ya? Sudah tentu.
Tapi nyatanya, hingga sekarang pun, hati masih termanfaatkan sebagai tempat
paling rapi untuk menampung, menyimpan, menelan(meski tak punya rongga layaknya
mulut), merenung, ‘memuntahkan’ kembali hal-hal yang pernah mengendap di
dalamnya, membiarkannya ‘berjalan-jalan’ di dalam kepala kemudian kembali lagi
ke relung dalam sana.

Burukkah hal
seperti itu? Jujur saja kalau di saat seperti ini, aku sedang tak ingin
dihakimi. Aku pasrah saja. Adalah benar adanya aku mengendapkan segala yang
tidak sampai ke kerongkonganku, keluar melalui bibirku, dibunyikan oleh
suaraku, jauh di dalam hati. Entahlah, hingga setua inipun aku tak tahu
seberapa jauh dasar di dalam sana, melihatpun tak pernah, namun terkadang,
dalam meraba dan buta, aku merasa bahwa titik terjauh itu memang begitu dalam,
dalam sekali, bahkan tujuh hari tujuh malam, bisa jadi sebuah batu belum tentu
akan menyentuh dasar saat dilemparkan ke dalam sana. Berlebihan? Ah, aku sedang
tak butuh penghakiman. Aku mengatakannya dengan jelas sejak awal bukan.

Maka, hati kemudian menjelma lautan tak berdasar yang tak pernah dangkal saat menyimpan
apa-apa yang kuinginkan atau tak kuinginkan. Ya, tak semua bisa kukendalikan
sedemikian rupa. Sedih sekali sebenarnya jika mengingat hal yang satu ini, tapi
sejujurnya aku senantiasa berusaha menepis, menjernihkan, membuang apa-apa yang
tak membaikkan untuk tinggal di dalam, kualirkan keluar. Beberapa tak butuh
usaha yang berarti, beberapa begitu menguras energi, beberapa malah harus
kuulang hingga beberapa kali. Sadar atau tanpa sadar, sengaja atau tanpa
disengaja, terjadi sedemikian rupa.