Pagi yang basah, pada penanggalan yang dihitung manusia sebagai awal baru yang ke sekian kalinya. Aku mengunjungi lagi taman ini. Wahai musim gugur sepanjang tahun, di tempat yang paling aku cari untuk duduk memandang lama, melihat perjalanan panjangku ratusan hari di belakang sana. Luruh dedaunan kuning kecoklatan berserak dengan indah menjadikan musim gugur di kunjunganku kali ini tetap sama mengagumkan dan menyenangkan seperti biasa. Kepingan damai menyergap hangat.
Aku memandang setiap kelebat, pada apa-apa yang terjadi di sana dari tempat ku berdiri. Bangku-bangku taman yang menua dan sekali lagi terlihat kokoh dan indah, menyapaku… “selamat datang lagi sesudah setahun ini, seberapa tua sudah ruhmu, wahai…?” sapaan biasa mereka padaku.
Tidak seperti tahun-tahun lalu, ada senyum dan tawa yang riang, menjawab awal pertemuan tahunan kami, kali ini bening sudah luruh sejak aku melangkah masuk taman tuaku ini. Aku tak mampu menolong diri, ah bukan, aku sengaja tak menolongnya. Aku memb iarkannya. Bening itu makin meluruh, dalam lirih jawabanku, “kalian tahu aku makin tua… dan aku melihat bayangan banyak penyesalan itu, wahai…”
Mereka tersenyum gundah, entah karena melihat bening itu atau karena gundah untuk penjelasanku nanti. Aku tak bisa memaknai, bening mengambang di pelupuk mata. Aku meminta jeda menenangkan diri. Aku merasa baik-baik saja sebelum datang dan berusaha untuk tetap tenang sampai waktuku pamit, tapi nampaknya kendaliku tak bisa apa-apa, aku terseret begitu saja sejak saat melangkah masuk kemari.
“aku melihat banyak penyesalan di tahun ini, …” aku mengulangnya seolah mereka tak mendengar saat kuucapkan sebelumnya.
Diam yang panjang tumbuh hingga ke langit-langit. Aku mematung dalam cekat di kerongkongan. Tak banyak yang bisa kuperbuat, aku hanya diam.
Aku menggenggam jari tangan yang beku, membiru di dera dingin, agak sulit hingga aku terbungkuk. Lututku gemetar hebat, dan aku melihat diriku hampir menyerah kalah. Aku tersaruk jatuh. Duduk di pelataran daun-daun kering. Hingga kemudian tergugu dalam tangis yang panjang.
Benar, aku sungguh banyak menyesali diri di tahun belakang ini, wahai…
Aku menumpahkan kecewa dalam gugu bisu musim gugur di kunjunganku kali ini. Aku kembali pada cangkangku lagi. Aku sulit untuk bisa percaya penuh pada manusia, aku mengirim dan mengabari tangis dan sedihku padaNya saja, aku membalikkan punggung dan menangis jauh dari penglihatan manusia. Aku kembali pada cangkangku, aku mengunjungi musim gugurku di taman tua ini tahunan seperti ini.
“tapi kau menutup tahun ini dengan bahagia yang baik, bukan?” mereka mungkin berusaha menolong mengingatkanku akan hal baik itu, mungkin untuk menghiburku.
Aku terkejut dan segera menganggukkan kepalaku kuat-kuat. Dengan mata penuh air Aku tertawa hingga tersedak. Kalimat mereka ternyata benar ampuh. Aku masih mengangguk dan tanpa bisa kucegah, air yang datang entah dari mana makin menganak sungai di kedua bola mata. Aku mengabur parah. Namun aku bisa merasakan garis senyum di wajahku membawa haru dalam-dalam menuju hati. Damai itu.
Ya, bukankah Allah juga menghadiahiku kado besar di tahun kemarin. Dengan cara yang sedikit tak kubaca namun kuaminkan luar biasa.
“itu baik sekali bukan, maka harusnya… rantai sesal itu harus putus hingga di sana saja, cukupkan di sana…” mereka memotong haruku.
“tapi aku juga menyesali diri banyak kali di tahun kemarin, aku kecewa pada apa-apa yang kulakukan di tahun itu. Aku marah pada banyak hal yang terjadi…” air mataku menolong tanpa kuminta. Aku benci.
“kami tahu… tapi itu karena engkau selalu menyalahkan diri terlalu banyak dan itu tidak menolongmu memperbaiki keadaan, tahukah?”
“aku tak tahu lagi mengapa aku begitu hancur di belakang sana…”
“kami tahu…”
“benarkah? Haha…”
“tentu saja…”
“bagaimana mungkin kalian tahu?”
“kami memang tahu, bagaimana mungkin engkau tak tahu?”
“baik… aku tak kan mendebat, kalian benar…”
“tentu saja…”
“…” Aku menyeringai pendek dalam cekat yang masih basah.
“kau hanya perlu melapangkan hati, mengikhlaskan semua itu, tak penting engkau lupa atau tidak, yang paling baik adalah ridha dengan apa yang terjadi. Allah sedang mendidikmu dengan caraNya, jika engkau ingin melihatnya dengan baik…”
Aku terdiam… benar begitu… Mungkin Aku hanya perlu mengikhlaskan sosok rapuhku di ratusan hari belakang yang membuatku benci pada diri sendiri, mengubah pandanganku pada manusia, meragukan tiap sosok baru yang mencoba datang mendekat, aku tahu itu belum benar-benar sembuh. Tapi aku harus terus belajar tulus itu bukan, ya, benar begitu.
Maka, aku memang datang berkunjung ke taman tuaku dengan musim gugur sepanjang tahunnya. Tempat rahasiaku. Tempatku berceloteh tentang banyak hal, dalam gemas atau kesal, dalam bahagia atau gundah. Semua rasa berlabuh dan tumpah. Aku datang dengan cangkangku kemari. Aku mengunjunginya selalu, tahunan seperti ini. Di awal mula penanggalan tahun ini.
Aku bangkit dari dudukku. Berjalan pulang, tak membersihkan daun-daun tua yang melekat di bagian bawah bajuku, membiarkannya. Beberapa akan menemaniku berjalan pulang. Tersenyum lapang aku memeluk lengan, menguatkan langkah, menghitung kesyukuranku yang kadang berdenyut lemah pada limpahan nikmatNya. Aku kadang terlalu melihat dan menghitung apa-apa yang belum kupunya dan ingin kuminta dan lupa bersyukur pada apa-apa yang diberi bahkan tanpa perlu kupinta.
Januari yang kemarin datang sudah hampir berkelebat pergi. Alangkah cepatnya waktu berjalan, bahkan seperti berlari. Ahlan wa sahlan, ratusan lembar baru kehidupan, terima kasih selalu untuk bersamaku, dengan musim gugur sepanjang tahunmu. Terima kasih untuk hal baik yang berpendar sepenuh cahaya di sekelilingku, juga hal pehit yang mendidik kebijaksanaanku. Aku tahu, aku tak benar-benar sendiri, Aku malu sekali pada sikapku yang begini. Semoga dengan kutinggalkan semua penat dan sesal itu di belakang sana, tak ada lagi yang kusesali setelah ini, di tahun ini, hingga kunjunganku nanti kembali dalam senyum dan tawa yang lapang di taman tua ini, dengan musim gugur sepanjang tahun. Sejak sekarang saja, aku sudah bisa merasakan bagaimana kantung-kantung bahagiaku terus berisi, dari tawa bahagia bersama orang-orang bernama baik dan dalam kebaikan yang menyenangkan. Semoga makin membaikkan. Meneduhkan semua risau yang tidak perlu. Mengasah kesyukuran, agar hati dan fikir semakin lapang dan bahagia sebenar bahagia.
Taman Musim gugur, Refleksi Sepotong Monolog di Januari tahun ini
0 comments:
Post a Comment