Pada sebuah teduh milikmu, yang selalu berhasil menabung rinduku.
Lumpuh
Apa rasanya lumpuh,
tak bisa mengangkat tangan ketika takbir
tak mampu menggerakan kaki ketika ruku’
tak bisa rebahkan kening untuk sujud..
apa rasanya lumpuh? terbayangkan kah oleh kita?
tak bisa mengangkat tangan ketika takbir
tak mampu menggerakan kaki ketika ruku’
tak bisa rebahkan kening untuk sujud..
apa rasanya lumpuh? terbayangkan kah oleh kita?
Apa jadinya bila gila,
tak bisa kerahkan akal ketika tadabbur,
tak mampu kelola jiwa untuk tunduk
tak bisa atur bicara untuk zikir..
apa jadinya bila gila? terbayangkan kah oleh kita?
tak bisa kerahkan akal ketika tadabbur,
tak mampu kelola jiwa untuk tunduk
tak bisa atur bicara untuk zikir..
apa jadinya bila gila? terbayangkan kah oleh kita?
Tidak!! kita tak kuasa mengkhayalkannya
karena kita sedang melakoninya!
karena kita sedang melakoninya!
Iya!! dunia telah melumpuhkan tangan, kaki, dan kening kita
hingga tak ada takbir melainkan kesombongan terus melekat
hingga tak ada ruku’ melainkan hanya ketundukan kepada makhluk
hingga tak ada sujud melainkan riya atas ritual
hingga tak ada takbir melainkan kesombongan terus melekat
hingga tak ada ruku’ melainkan hanya ketundukan kepada makhluk
hingga tak ada sujud melainkan riya atas ritual
Iya!! dunia telah menggilakan akal, jiwa, dan bicara kita
hingga tak ada tadabbur melainkan barisan teks yang bodoh untuk kita fahami
hingga tak ada ketundukan melainkan liarnya nafsu untuk kita gauli
hingga tak ada zikir melainkan kumpulan mantra yang kita ulang-ulang
hingga tak ada tadabbur melainkan barisan teks yang bodoh untuk kita fahami
hingga tak ada ketundukan melainkan liarnya nafsu untuk kita gauli
hingga tak ada zikir melainkan kumpulan mantra yang kita ulang-ulang
ha! kita telah lumpuh juga gila.
Dan itu, guratan hati seorang Ina Fauziana Syah, Uti shalihah pemilik tatapan paling
teduh yang pernah kutemui.
Aku mencari sebentuk teduh itu dimana pun ia tersaput debu ataupun terik
dunia dan lelah hati para hamba. Betapa Allah Maha Baik yang mengirimkanmu ke duniaku. Selalunya kutemukan sebentuk itu tiap kali bertemu tatapmu dan beroleh rengkuhan juga bisikan lirih shalawatmu di
balik rengkuhan itu.
Dan aku, pada sebuah teduh milikmu, yang selalu membuat aku haru biru
tertunduk, selalu rindu pada sekeping hati bersahaja milikmu.
(Sebuah catatan pada Ramadhan tahun ini yang tanpa terasa telah berbilang lima)
(Sebuah catatan pada Ramadhan tahun ini yang tanpa terasa telah berbilang lima)
2 comments:
I like the words
"riya atas ritual" :-)
terlalu kosong bermakna d saat sgala wujud ubudiyah hanya jadi ritual...
gerak kosong tanpa makna ...
:-)
cm mau nambahin kalimat aja... hehe :-)
==============================
Zz! lakukn lg blogwalkingnya biar nambah teman ngeblog :-)
I also like the words... :)
Thanks for coming, Rahmat. Insya Allah I will, cuma lagi agak kurang waktu aja ini, heheh.
Post a Comment