You who's thousand miles apart


Assalamu’alaikum.

Dear My lovely Supporter,
Bagaimana kabarmu? Ketika membaca ini semoga Allah memberkahi diri dan hatimu dengan kebaikan dan kebahagiaan. Oh, juga kesabaran untuk membaca ini, ya, surat ini akan panjang, aku mengingatkanmu awal-awal.

Suratmu datang lagi beberapa minggu lalu. Surat yang kedua, jika terhitung surat di bulan Mei lalu itu. Tahukah?  Aku mondar mandir di depan komputerku sebelum menulis ini untuk beberapa saat. Bukan tak tahu harus menulis apa, aku punya banyak hal yang ingin kukatakan, tapi  menuliskannya secara tumpah ruah tentu bukan ide yang bagus. Kau akan menganga bingung dengan isinya nanti dan aku tidak ingin itu terjadi. Jadi aku mulai berpikir apa saja yang ingin kukatakan, harus mulai dari mana dan bagian mana dari suratmu yang membutuhkan jawaban, baik yang retorika maupun yang tidak. Nah, Jika pun setelah melampaui tahap usaha ini, isinya tetap membingungkan, layangkan saja kritik dan saran. Untukku.

Sebelum lebih jauh, mohon maaf sungguh, surat pertamamu saat ulang tahunku belum lagi sempat kuselesaikan. Bolehkah aku membalasnya dengan beberapa halaman ini? Semoga engkau tidak keberatan.

Sebelumnya, aku juga berfikir, aku mungkin tidak bisa menuliskan hal-hal sebaik dirimu. Menurutku, kau bisa mengungkapkan banyak hal dengan  caramu, sedangkan aku, kau tahu, aku kadang sedikit kesusahan mengekspresikan perasaanku, um, maksudku secara … terbuka. Seringkali aku melakukannya diam-diam, bisa jadi menulis di secarik kertas seperti waktu itu, atau bsia jadi menyerahkannya langsung sambil menutup mata saat mengangsurkannya. Hahah.

Oh, aku ingin cerita juga. Aku baru saja tercerahkan dengan kalimat yang sudah sangat sering melintas sejak dulu namun seperti orang yang baru terantuk kepalanya, aku baru sadar sesadar-sadarnya ketika membacanya ulang. ”jika orang-orang lebih jujur dengan perasaannya, mungkin banyak hal rumit akan lebih sederhana”. Akhir-akhir ini aku melihat banyak buktinya. Kejujuran dan keihklasan hati tak pernah sia-sia.

Entah kau tahu atau tidak, kadang aku menuliskan banyak hal tentang banyak orang di hidupku, orang-orang tertentu yang ingin kuingat dan mengajarkan banyak hal buatku, kenangan pahit dan buruk, dan juga yang manis dan menyenangkan, menenangkan, semua ada di suatu tempat. Jika ada yang kebetulan menemukannya, tak mengapa. Karena biasanya mereka datang bukan untuk mencari tahu, mereka haya sekedar singgah, sengaja tak sengaja.

Hari ini, akhirnya aku bisa menuliskannya, yang seperti ini untukmu, dengan caramu. Terima kasih telah membuatku mencoba.

Waktu membaca surat bulan Mei itu, aku baru saja pulang kantor dan punya janji dengan Kak Tia, salah satu teman karibku yang juga kau kenal bukan? Dia menjemputku ke kantor dan kami pergi makan sore itu karena sama-sama belum makan sejak siang. Sebelum menutup layar laptop dan meninggalkan kantor, aku sudah mulai membaca sebahagian isi suratmu dan tak bisa menggambarkan secara tepat bagaimana perasaanku saat itu. Yang aku ingat, saat di tempat makan, mataku berusaha keras menahan bening yang berlompatan kejam, hingga kak Tia penasaran dan bilang, ‘Tia jadi pengen baca apa yang ditulis zah?”. Aku menjawab singkat dengan suara sengau bercampur tawa sambil menunjukkan layar laptop. Udara sore itu ikut sembab. Kesyukuran terasa di dalam hati, ia seperti tumbuh hingga ke langit-langit. Aku seperti dihangatkan di depan perapian di malam musim dingin. Purna dalam nyaman ketika kami beranjak pulang senja menjelang magrib itu.

Kamu yang disana,
ya, kamu, yang duduk di situ yang sedang menatap layar,

Kalau boleh bilang, aku sering takjub dan terkagum pada sosokmu sekarang, melihatmu tumbuh besar dari seorang adik kecil dulu, kadang aku masih tak percaya. Kadang seperti melihat di layar kilasan pertumbuhan dan perubahan itu. Foto-foto masa kanak turut mengejawantah memori  saat kita belum sedewasa sekarang. Foto-foto yang kondisinya terkadang menggemaskan namun lebih sering mengenaskan, maksudku, keadaanku di foto itu.

Dulu, entah kau tahu tahu hal ini atau tidak, aku sering memaksa untuk bisa menggendongmu saat aku masih berusia lima atau enam tahun? Aku lupa persisnya. Waktu itu kita masih tinggal di rumah Minek dan Abunek (Semoga Allah merahmati mereka berdua juga melapangkan kuburnya). Aku takkan tanya kau ingat atau tidak. kau masih balita sekali, dan aku kurus kecil sekali. Saat sedang menggendongmu, kita  seringkali jatuh, maksudku, aku sering terjatuh dengan kau di gendonganku. Mungkin kau sedikit tahu sistem koordinasi tubuhku yang sering oleng sana sini bahkan sampai sekarang, hahah. (sekarang sudah banyak berkurang tentu saja). Tapi aku memaksa. Jika sudah jatuh, sering kali kau tidak menangis, aku bersyukur lega untuk itu. Lalu aku akan segera mengangkatmu lagi, diam-diam sebelum mamak tahu, karena jika tahu dia akan melarangku untuk menggendongmu. walau sering sekali dia tidak bisa menolak saat lain waktu aku ngotot melakukannya lagi. Mengenang itu semua, aku masih terkekeh geli hingga saat ini. Tentu tak perlu kuceritakan banyak hal memalukan di masa kecil tentangku yang sering diceritakan kembali ayah dan mamak selepas makan malam bahkan di malam buka puasa pertama kita ramadhan kemarin. Ingatkah? Hish, rasanya aku ingin tutup muka.

Saat kau masuk SD kelas satu, jika tidak salah aku kelas 5? Sejak itu aku merasa engkau menjadi tanggung jawabku selama di sekolah, aku harus menjagamu, atau setidaknya begitulah aku berfikir sederhana dengan kepala anak seusiaku. Sebenarnya aku cukup kuatir, sejak kecil aku pelupa parah. Aku sering lupa dengan uang jajanku jika diletakkan di atas meja oleh mamak, tas makan siangku, tas tenteng tambahan berisi bukuku, entah itu di rumah atau di meja di kelas, dan sering kali sepedaku di parkiran sekolah. Bagaimana nanti jika aku juga melupakanmu? tanpa aku sengaja tentunya.

Jika lonceng pulang dan kami berhamburan keluar kelas dan aku bersama teman-temanku, aku akan pulang dengan berjalan kaki bersama mereka tanpa sedikitpun ingat dengan sepeda. Dan itu terjadi berulang-ulang. Kau tahu Bang Ravi sungguh kesal dengan kebiasaanku, karena terkadang dia yang harus balik ke sekolah yang tidak dekat jaraknya untuk mengambil sepeda itu. Kadang aku memilih mengambilnya sendiri, tapi itu jarang terjadi. :D

Lalu ketika kau mulai bersekolah di sekolah yang sama, ingatanku sedikit membaik karena kau sering tanya yang sekaligus mengingatkanku, “kak, sepedanya di sebelah mana?” kurang lebih begitu alarm-mu. Kau sering bertanya aku menyimpan sepeda di mana tiap kali kita pulang. Dan ya, kau sering menungguku padahal kelasmu lebih cepat selesai, padahal kau bisa bermain ke kantor ayah yang tak jauh dari sekolah kita seperti yang sering kusarankan, tapi sering sekali kau memilih menungguku, sambil menulisi …. tembok sekolah. Iya dek, kau hobi menulis di tembok sekolaaah! for God’s sake, itu Bukan papan tulis. Hahaha. Tentu saja aku ingat betul bagaimana peristiwa itu, aku dipanggil guru karenamu. Aku lupa, apakah aku mengomelimu saat itu  agar kau tidak melakukannya lagi? Maafkan. Kita punya banyak kenangan lucu dan seru bukan?

Kamu, pendukung setia berhati pualam,

Kamu sudah besar sekarang. Kita sudah dewasa sekarang. Banyak hal yang berbeda tentu saja. Cara kita menghabiskan waktu. Cara kita berdiskusi. Cara kita membicarakan banyak hal mulai mengalami penyesuaian, bahkan tanpa kita benar-benar sadar. Begitu saja terjalani. Kita hanya bisa mengira-ngira, sepertinya kita sekarang sedikit lebih dewasa dari sebelumnya?

Aku menikmati semua waktu-waktu yang kita habiskan. Minum Cappucino buatanmu, atau buatanku, makan mie buatan ata atau aping di tengah malam bersama kalian, meledekmu, mendengarkan tawa kalian, menyimak perbincangan kalian. Ya Tuhan. ada hal-hal yang sulit kujelaskan rasanya yang begitu nyaman dan hadirdengan serta merta. kadang saat terbangun subuh atau mampir ke kamarmu, aku mendapatimu bermukena, kadang sedang sujud, kadang dengan mushafmu. Kadang aku memejamkan mata sambil menajamkan telinga. Aku menikmati lantunan tilawahmu dari kamarmu atau ruang shalat, lamat-lamat aku menikmati itu semua kala di rumah. ada bahagia yang menyusup jauh ke dalam hati, naik ke kepala, menjalar ke seluruh tubuh.

Ritual pulang ke rumah selalu mengisi tangki energiku. Tangki kosong energi, yang habis karena lelah hati, letih pikiran, dan capek badan. seperti tombol refresh dan recharge yang otomatis aktif setiap kali berada di tengah-tengah kalian. Sungguh benar, keluarga adalah tempat pulang dan berlari, tempat untuk selalu datang dan harusnya tak menjadi tempat persinggahan. Tempat hati melabuhkan semua rasa yang kita punya, bahagia dan tidak bahagianya.

Terima kasih untuk selalu ada di sana. Kadang tanpa kuminta. Terima kasih untuk semangatnya. Kau mungkin harus tahu, kali ini akan kubagi rahasia-rahasia kecilku berjudul namamu.
Kau adalah tempatku bercermin, melihat masa kanak dan remaja. Kau juga tempatku belajar dan memperbaiki diri dalam tahapan yang tak pernah selesai. Well, who does? ^^;

Tahukah? Banyak hal tentangmu  yang membuatku tersenyum bahagia, melangitkan syukurku pada-Nya, betapa Ia hadiahkan adik hebat dan keren sepertimu. Terima kasih untuk tiap kejutan dan tulisanmu yang menghangatkan hati. Dan terlebih lagi, terima kasih untuk selalu mengingatku dalam doa-doamu. Kau tahu bukan, doa adalah cara paling baik memeluk orang yang kita cintai dari jauh, doa juga menyampaikan rindu kita secara sungguh dan mendalam. Kita memohon agar orang-orang yang kita cintai dalam penjagaan Allah dan dimudahkan dalam tiap langkah. Doa menggaungkan nama kita di langit-langit sana, juga langit hati kita, dan kita menjadi senantiasa dekat dengan orang yang kita doakan.

Terima kasih dek. Sepertinya aku menjadi tahu mengapa seperti ada saja kebaikan dan kemudahan yang kutemui sejak disana dan juga di sini. Ada saja tangan-tangan tak tampak yang memudahkan urusan dan membuka jalan. Aku yakin sekali, karena dengan doa-doamu, doa-doa mamak dan ayah, doa para sahabat. Ya, doa dari kalian semua senantiasa memeluk dan menjaga tiap langkahku hingga kebaikan dan kemudahan selalu saja muncul. Allah sungguh Maha baik, dek. Betapa aku sungguh beruntung memilikimu dan kalian semua, orang-orang berharga di kehidupan nyata. Alhamdulillah.

Mohon maaf jika pernah membuatmu sedih, mohon maaf untuk waktu-waktu yang sedikit untuk kita habiskan bersama, juga untuk hal-hal yang kurang berkenan dan menyinggung hatimu. Maafkan pula sampai pernah membuatmu berfikir mungkin lebih mudah jadi temanku daripada adikku karena sedikitnya waktu kupunya untuk bersamamu. Kau perlu tahu, jikapun kita dilahirkan kembali, aku akan tetap memilih engkau menjadi adikku. Agar kita tetap menjadi kakak-adik yang begini ini. Dan semoga, jika Allah panjangkan usia, Insya Allah, semoga kita punya waktu lebih banyak untuk dihabiskan berdua, membicarakan hal-hal yang kita sukai, membahas buku kesukaanmu, mendengarkan cerita tentang duniamu yang begitu kaya dan berwarna, mendengarkan celotehmu di pagi buta, saat tengah hari, saat senja tiba, atau saat malam hingga dini hari, kita kadang lupa diri kalau sudah cerita sana sini, lintas isu, seperti waktu itu. Benar, aku rindu sekali padamu dan cerita-ceritamu.

Insya Allah episode kita masih perlu banyak tambahan. Jangan khawatir, tak kan ada bill yang akan ditagihkan, jika kau ingin bercerita dan berkeliling denganku. Aku akan dengan senang hati membawamu jalan-jalan, mendengarkan cerita-cerita, menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis atau yang sederhana tapi begitu bermakna. Kau tahu, semua begitu berarti buatku, seperti vitamin hati saja. Sepertimu juga, mana mungkin aku mampu melupakan semua hal baik dan menyenangkan kita?

Maka, dari jarak ribuan mil sekarang ini, aku meniup udara ke langit-langit, semua berisi doa dan kerinduan sepenuh hati buatmu. Buat kalian di rumah. Aku titip salam pada udara subuh yang menguap ke langit pagi, pada senja dengan cahaya matahari terakhirnya hari ini, juga besok,  besoknya lagi, begitu terus, hingga kita bertemu lagi nanti. Aku pastikan kau menerima paket-paket imaji itu dengan hatimu, semoga.

Teruslah menjadi orang yang bersemangat seperti yang kukenal sekarang, orang yang punya mimpi besar dan berusaha keras mewujudkannya, yang makin bijak dari waktu ke waktu. Yang selalu berhasil membuatku tertunduk terharu. Aku punya adik hebat sepertimu. Ya Salaam. Allah sungguh Maha Baik. :)Kau menjadi tempatku bercermin, pada bijaksana dan semangatmu, pada spontanitas dan percaya dirimu, pada ketekunan dan ketidaklelahanmu melakukan banyak hal, pada aktivitasmu yang segudang itu. Ya, pada semua kebaikan dan kelebihanmu. Aku sering jatuh hati diam-diam pada banyak hal yang ada padamu dan yang kau lakukan.

Terima kasih telah menuliskan perasaaanmu tentangku. Terima kasih telah mendukungku dengan ketulusan dan caramu itu. Terima kasih untuk selalu mengingatku dalam doa-doamu. Terima kasih untuk bercangkir-cangkir kopi yang kau niatkan buatku. Terima kasih untuk selalu menyempatkan menyapaku sesibuk apapun. Maafkan atas banyak keterbatasan dan kekuranganku, maafkan jika ada hal yang tidak memenuhi ekspektasimu. Sungguh, beritahu aku sejelas-jelasnya, terkadang, ada banyak hal yang bisa kita selamatkan jika kita  menyampaikan dengan jelas seperti apa sebenarnya maksud kita. Walaupun tidak tercapai seperti yang kita harapkan, paling tidak kita membuat mereka tahu hal seperti apa kita pikirkan, dan kita sama-sama belajar, hal apa yang bisa diupayakan  dan kita bisa sama-sama berjalan ke tengah-tengah atas nama berusaha mengerti satu sama lain. *asiiik!* *baru idupin backsound* =))

Terima kasih untuk hadiah buat hati, kata-kata dalam suratmu membuaku bersemangat di sini, tak hanya mata yang berembun, hati ikut menghangat dan penuh. Semoga Allah senantiasa mendengarkan doa-doa kita, mengabulkan tengadah dan pinta, meleraikan sedih dan melapangkan hati-hati kita.
Baik-baik ya di sini, titip mutiara berharga, harta hidup kakak ya dek, ayah mamak kita, adek ata, aping, mereka kupercayakan padamu.

Selalu rindu,
Kak zizah

ps :
Bagiku, kadang hati itu umpama lokus rumah lebah. Tiap orang yang kita sayang punya rumahnya sendiri di ruang hati. Tentu saja ruangan pribadi buatmu tak pernah bisa digantikan orang lain. :)

(Suatu sore, 31 Agustus 2014, dari sebuah sudut kota kecil Starkville, Mississippi

0 comments:

Post a Comment